Kemandirian Batik Alam Jepara, Kini Miliki Teknik dan Alat Sendiri

0
282

MIKJEPARA.comJEPARA – RA. Kartini bukan hanya dikenal sebagai pahlawan emansipasi wanita, tapi Kartini juga dikenal sebagai wanita yang memperkenalkan batik pada zamannya. Sehingga batik yang bernama batik Kartini, batik inilah yang diperkenalkan Kartini hingga ke mancanegara kala itu.

Batik Jepara yang diturunkan langsung oleh RA. Kartini juga belum mendapatkan tempat sebagai ciri khas. Aktivitas di Batik Kembang Mulyo pun semakin eksis mengembangkan motif-motif yang di inisiasi dari kearifan lokal kota ukir.

Kini para pembatik Jepara bisa secara mandiri memanfaatkan alat yang diproduksi lokal, tidak lagi mengandalkan alat cetak dari luar daerah. (Foto : Kedaireka UNISNU)

Lina, sang owner rumah produksi ini nampak sedang sibuk menyambangi tamu yang datang langsung. Lokasinya berada di Mulyoharjo, sebagian proses produksi batik tulis dan cap dilakukan dari sini.

Mulai pintu masuk, sudah ada tumpukan-tumpukan kain. Di sekitar juga ada satu pekerja sedang sibuk menggambar pola. Di ruang atas, suasana semakin ramai. Di situlah showroom dari hasil karya batik pasangan suami istri ini.

Baca Juga : Gandeng UMKM, Kedaireka UNISNU Populerkan Batik Warna Alam Khas Jepara

Tumpukan kain-kain itu dilipat di tengah. Ruangan dengan ukuran sekitar 10×7 meter itu sudah penuh. Ada juga kain-kain batik yang ditempatkan di rak-rak. Jika dilihat dari harga yang tertempel, rata-rata kisaran Rp 250 ribu sampai Rp 500 ribu. Paling mahal, kata Bowo Rp 2 Juta untuk motif dengan pewarnaan alam seperti indigo.

“Saya sedang banyak request batik dengan warna alam seperti indigo, blue,” ungkapnya.

Proses mencanting juga dilakukan di rumah ini. Lokasinya berada di ruangan terpisah. Ada perajin yang sedang sibuk menorehkan cairan malam mengikuti alur motif. Tak urung sang putri yang kebetulan libur sekolah, juga turut serta mencanting mengisi masa liburan.

Selain itu, juga ada pelatihan dan ditindak lanjuti dengan pengambilan sampel. Pewarnaan untuk pesanan ini menggunakan warna alam. Artinya berbahan daun dan kayu-kayuan. Seperti daun indigo untuk warna biru, kulit kayu mahoni, jati menciptakan warna coklat, dan secang menjadi warna kuning.

“Kalau warna alam, itu kalau dedaunan atau kayu yang tidak bisa dimakan manusia atau hewan itu kuat,” ujarnya.

Satu kain, diproduksi dalam jangka waktu sepekan. Khusus untuk pewarnaan diperlukan waktu lima sampai sepekan. Satu kain dibandrol sekitar Rp 750 ribu.

“Kelebihannya dia soft, tidak pencemaran. Kalau (warna) sintesis, kalau dipakai pejabat nanti takutnya kalau ada apa-apa,” jelasnya.

Bowo sendiri sudah mengenal batik sejak remaja. Saat ini, dengan adanya program Kedaireka UNISNU Jepara sangat membantu sekali dalam pengembangan UMKM yang sedang dijalaninya bersama sejumlah UKM batik Jepara.

Sementara itu, Jati Widagdo ketua Kedaireka UNISNU menjelaskan bahwa potensi batik warna alam untuk pasar eropa sangat terbuka lebar. Apalagi di Jepara sendiri didukung SDM serta peralatan yang ada. Bersama mahasiswa UNISNU, juga diciptakan alat cap alumunium dengan lem yang mudah dilakukan dengan praktis.

“Kami berharap dengan kemandirian ini, Jepara semakin banyak inovasi menciptakan motif yang didasari kearifan lokal Jepara. Apalagi alat juga tidak lagi tergantung dari luar kota,” pungkasnya. (MIKJPR-01)

Reporter : BH/xpo
Editor : Haniev

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here