“Baru ditebar, rob datang, semua ikan hilang ke laut,” keluh Sulkhan.
Sulkhan kemudian menunjukkan lokasi-lokasi terdampak, termasuk rumah-rumah tergenang. Warga yang sedang meninggikan bangunan, tambak yang tak lagi produktif, serta garis pantai yang semakin mendekati permukiman.
Menurutnya, rob besar biasanya terjadi antara bulan Mei hingga Juni, yang oleh masyarakat sekitar disebut rob kesongo. Banyak warga berusaha meninggikan rumahnya, namun yang tidak mampu secara ekonomi harus rela hidup dalam genangan.
“Selama ini belum ada penanganan serius dari pemerintah desa,” ucap Sulkhan.
Warga mulai meninggikan rumah secara mandiri sejak sekitar empat tahun lalu karena posisi permukiman yang rendah dan rawan banjir rob.
Di Surodadi, jarak antara rumah warga dengan bibir pantai kini hanya tersisa sekitar 110 hingga 150 meter. Jika tak segera ditangani, abrasi akan terus mengikis daratan.
“Sebagian petambak hanya bisa membuat pelindung dari plastik dan pancangan bambu secara swadaya,” ujarnya.
Ironisnya, meskipun lahan tambak mereka telah terendam dan tak bisa dipanen, para petambak tetap harus membayar pajak.
“Petambak garam tidak bisa panen pada Mei-Juni, kemungkinan baru bisa panen di Agustus. Petambak udang dan ikan juga mengalami hal serupa. Ini terjadi setiap tahun,” jelasnya.
Hutan mangrove dan pemecah gelombang atau wave breaker yang sebelumnya menjadi pelindung juga sudah rusak. Tanpa penghalang, ombak kini semakin leluasa menghantam daratan. Warga berusaha menahan pasir dengan pagar seadanya agar tidak hanyut tersapu gelombang.
“Desa Panggung dan Surodadi belum punya sabuk pantai. Tanggultrale memang ada, dulu sempat direncanakan dari Semat ke Kedung, tapi sampai sekarang belum terealisasi,” ungkapnya.
Garis pantai pun semakin mendekati pemukiman. Tahun ini saja, daratan dilaporkan terkikis hingga 30 meter, dan sejak 2016, pantai sudah mundur hampir 100 meter.
Salim (70), warga lainnya, tampak sibuk mengawasi proses penimbunan rumahnya. Bersama istrinya, ia mengatakan baru kali ini bisa meninggikan rumah karena keterbatasan biaya.
“Sering kebanjiran sejak lima tahun lalu, tapi baru sekarang bisa renovasi karena baru ada uang,” ujarnya.
Ia menyebut rob tertinggi pernah mencapai lutut. Kini ia meninggikan rumahnya sekitar 40-45 sentimeter agar tak lagi terendam.
“Biasanya air masuk sekitar pukul 13.00 dan mulai surut pada 16.30. Kita tinggikan sedikit demi sedikit, namanya juga nelayan,” katanya.
Ia berharap pemerintah segera turun tangan. Jika dibiarkan terus, kondisi akan makin parah dan merugikan banyak pihak. (MIKJPR-04)
Reporter : AD/TB
Editor : Olive