MIKJEPARA.com, JEPARA – Kurang afdhol rasanya jika kita melakukan perjalanan ke Kota Rembang namun tidak mampir ke Museum RA. Kartini. Memang, Kartini hanya sebentar tinggal di kota penghasil garam itu, namun jejak dan peninggalannya tidak kalah dengan kota kelahirannya, Jepara.
Koleksi barang-barang Kartini terlihat lebih banyak dibanding koleksi yang dimiliki museum Kartini Jepara.

Hal ini bisa dimengerti karena Kartini memboyong semua barang-barang pribadinya ke Kabupaten Rembang setelah menerima pinangan Bupati Rembang, K.R.M Adipati Ario Singgih Djojoadhiningrat pada tanggal 12 November 1903.
Tampak barang-barang pribadi Kartini seperti mesin ketik, lukisan tangan Kartini yang sangat legendaris, surat-surat Kartini yang menggemparkan Hindia Belanda pada waktu itu, batik Kartini, hingga replika tafsir Qur’an karya Kiai Soleh Darat yang masih tersimpan rapi di etalase kaca.
Lebih ke dalam kita akan diajak memasuki ruangan-ruangan Kartini yang menyimpan benda-benda bersejarah, seolah kita akan diajak memasuki lorong waktu. Sampai di sebuah meja yang tertera tulisan tempat menaruh bayi, ingatan kita langsung menuju kepada putra satu-satunya Kartini yang bernama Singgih Soesalit.
Sebuah cerita tragis yang akan membuat siapa saja pasti akan terharu saat mendengarnya. Setelah Kartini “terpaksa” mau menerima pinangan Bupati Rembang Djojoadhiningrat pada tahun 1903, meskipun jiwanya berontak terhadap praktek poligami yang “dikutuknya”, namun pada akhirnya Kartini tetap menjalaninya sebagai istri keempat sang bupati karena bentuk baktinya kepada ayahnya.
Ketika menerima pernikahan itu, Kartini mengajukan beberapa persyaratan untuk dipenuhi oleh calon suaminya. Salah satu syarat yang diajukan adalah Kartini tidak ingin melakukan prosesi adat dengan berjalan jongkok, berlutut, hingga mencium kaki suami. Ini merupakan keputusannya yang mengedepankan kesetaraan gender, Ladies.
Syarat lainnya adalah Kartini ingin tetap diperbolehkan mengejar cita-cita untuk memajukan perempuan Hindia Belanda, dengan dibuatkan sekolah khusus perempuan dan menjadi seorang guru di Rembang. Syarat-syarat ini pun disetujui oleh suaminya.
Ketika syarat-syarat pernikahannya dipenuhi, Kartini rela dirinya dipoligami dan menjadi istri keempat. Padahal, Kartini menentang keras adanya poligami ini.
Kematian Kartini yang Misterius
Seperti dikutip dari Tempo, ketika Kartini mengandung hingga melahirkan, ia tampak sehat walafiat. Kematian Kartini yang tiba-tiba ini menimbulkan perdebatan dan spekulasi serta kecurigaan negatif bagi sebagian pihak.
Efatino Febriana dalam bukunya berjudul “Kartini Mati Dibunuh”, mencoba untuk menggali fakta-fakta yang beredar di sekitar kematian Kartini. Efatino, di akhir bukunya, menyimpulkan bahwa kematian Kartini sudah direncanakan.
Kesimpulan Efatino ini juga dikuatkan oleh Sitisoemandari dalam bukunya berjudul “Kartini, Sebuah Biografi”, yang menduga bahwa Kartini meninggal akibat permainan jahat dari Belanda. Belanda ingin membungkam pemikiran-pemikiran progresif dan revolusioner Kartini yang berwawasan kebangsaan.
Setelah Kartini menikah pada tahun 1903, Kartini wafat pada tahun 1904 usai melahirkan putra satu-satunya yang bernama Singgih Soesalit. Djojohadiningrat mendekap Kartini pada 17 September 1904 di kamar utama Kadipaten berukuran 5 x 6 meter. Perempuan yang baru dinikahi 10 bulan tersebut perlahan menutup mata, untuk selamanya, dilansir dari Tempo.
Menurut Djojoadiningrat, setengah jam sebelum meninggal, istrinya masih sehat walafiat. Kartini hanya mengeluh perutnya tegang. Lalu kemudian Van Ravesteijn, dokter sipil dari Pati, datang dan memberi obat kepada Kartini. Tetapi, alih-alih membaik, tiba-tiba ketegangan di perut Kartini justru semakin menjadi-jadi dan 30 menit kemudian Kartini meninggal.
Usia Kartini 25 tahun saat meninggal, sedangkan Singgih Soesalit berusia empat hari. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang. (latifa)