Google search engine

MIKJEPARA.com, JEPARA – Keberadaan Masjid Astana Sultan Hadlirin Mantingan tentunya masih menjadi perhatian pemerintah dalam pengelolaan kawasan cagar budaya, komplek masjid yang dibangun di era Ratu Kalinyamat ini dipercaya menyimpan beberapa benda bersejarah bernilai seni tinggi.

Bahkan penelitian terkait relief masjid Mantingan, sudah banyak disajikan dan dengan mudah kita temukan melalui publikasi jurnal maupun buku hasil penelitian. Namun hal tersebut belum banyak menarik perhatian kalangan industri kerajinan untuk mengangkatnya dalam berkarya, utamanya dalam penggunaan motif asli tersebut.

Relief masjid Mantingan sendiri sejatinya adalah objek seni yang berkualitas tinggi dan dikerjakan oleh nenek moyang masyarakat Jepara pada masa lalu, mereka mempersembahkan karya terbaik pada masa itu untuk para penguasa atau dikenal sebagai seni feodal, pada masa itu mereka tentu menganggap bahwa karya itu adalah seni kualitas terbaik dan kualitas tertinggi pada masa itu.

Pada masa R.A. Kartini muncul kesadaran pentingnya mewadahi pada seniman ukir yang telah memiliki keahlian ukir secara turun-temurun untuk meningkatkan taraf hidup mereka, sehingga era itu dikenal sebagai tonggak dimulainya era industri mebel ukir Jepara.

Di Indonesia dikenal sepuluh ragam hias ukir tradisional yang lahir pada masa sekolah Openbare Ambarchtsschool (berdiri 1929), sekolah kejuruan yang terdorong oleh pendidikan ukir yang dirintis oleh R.A. Kartini, para guru dan siswa sekolah tersebut berhasil merumuskan ragam hias yang mereka jumpai di berbagai artefak pada candi-candi di Nusantara.

Pada masa R. Ngabehi Prodjo Soekemi yang memimpin Openbare Ambarchtsschool antara tahun 1929 sampai 1934 berhasil merumuskan ragam hias Majapahit dan Mataram.

Dan pada tahun-tahun selanjutnya ragam hias ukir tradisional berhasil diidentifikasi berdasarkan karakteristiknya, sehingga saat ini kita mengenal ragam hias ukir yang lain seperti ragam hias Surakarta, ragam hias Madura, ragam hias Pekalongan dan lain-lain yang dikenal sebagai sepuluh ragam hias atau motif ukir tradisional.

Seperti apa yang dilakukan pada para guru dan siswa Openbare Ambarchtsschool, maka ragam hias ukir Mantingan sepatutnya juga bisa diangkat menjadi bagian dari ragam hias ukir tradisional sebagaimana sepuluh ragam hias ukir tradisional lainnya yang telah menjadi ragam hias klasik.

Upaya untuk merumuskan ragam hias ukir masjid Mantingan perlu dilakukan dan dipublikasikan untuk memperkaya khazanah seni ragam hias Indonesia sehinga dapat dimanfaatkan sebagai seni ornamen yang lebih luas baik dalam industri kerajinan maupun elemen arsitektur.  (MIKJPR-01)

Reporter : TJ/AL
Editor : Haniev

Tinggalkan Balasan