Bagi warga Desa Tempur, pantangan menggelar pementasan wayang kulit memang sudah menjadi mitos dan kepercayaan turun temurun. Mereka percaya bahwa, para leluhur tidak menginginkan hal tersebut.
Mitos yang jadi pantangan itu bukan tanpa dasar, para leluhur Desa Tempur mewanti-wanti agar tidak mementaskan wayang secara langsung. Alasannya, gunung-gunung di Desa Tempur dinamai dengan nama-nama tokoh dalam dunia pewayangan.
Salah satu antaranya Puncak Abiyasa, mereka meyakini di gunung dan puncak itu merupakan tempat pertapaan Eyang Semar. Salah satu tokoh agung dalam peyawangan, sehingga masyarakat tidak berani mementaskan wayang dalam acara apapun.
Mitos itu masih dipegang erat masyarakat desa sampai sekarang. Bahkan, ada beberapa warga yang berkeyakinan memasang gambar wayang di rumah pun menjadi suatu pantangan yang haram dilanggar.
Tetapi, mereka meyakini bahwa apa yang sudah dituturkan leluhur itu adalah hal baik yang mesti dipegang teguh. Keanehan lain yang ditunjukkan Mahfudz Ali, jika dilihat seksama peta Desa Tempur, jika gambarnya dibalik menyerupai gambar tokoh Eyang Semar. Sehingga, masyarakat percaya ada kedekatan tersendiri antara tokoh Semar ini dengan Desa Tempur.
Pada sedekah bumi kali ini, ada enam gunungan hasil bumi dari masing-masing dukuh yang diarak keliling desa. Menurutnya, warga sangat nyengkuyung bareng terkait dengan sedekah bumi ini.
“Kami berharap kegiatan semacam ini kami tetap bisa menjaga, melaksanakan untuk merawat tradisi. Motivasi kami itu sebagai penanda rasa syukur kami kepada Tuhan telah dianugerahi tanah yang begitu subur dan hasil yang melimpah, sehingga dari itu membawa berkah kemakmuran,” pungkas Mariyono. (MIKJPR-01)
Reporter : AD/DS
Editor : Hnv