Google search engine

MIKJEPARA.com, JEPARA – Dari sejumlah desa di Kabupaten Jepara, yang mengelola aset wisata desa antaranya adalah Desa Tanjung Kecamatan Pakis Aji. Salah satunya berupa Wisata alam yang dikenal dengan Watu Lawang, objek wisata ini berlokasi di RT 07 RW 01 Desa Tanjung Pakis Aji.

Untuk menuju lokasi, akses jalan menuju kesana pun sekarang lebih mudah dan bagus dengan rabat beton. Motor ataupun mobil pengunjung bisa langsung tertuju di area parkir objek wisata tersebut.

Batuan besar yang berada di lokasi Wisata Alam Watu Lawang, diperkirakan batuan beku basalt ini merupakan sisa muntahan gunung berapi.

Turun dari area parkir, hamparan luas pemandangan dengan bebatuan berlatar belakang bukit persawahan hijau menyambut mata untuk pertama kalinya. Watu lawang sendiri diartikan Batu Pintu, memang secara fisik ada bebatuan besar yang tertata secara alami menyerupai pintu atau gapura.

Jenis batuan andesit, secara bentuk batuan yang berada dilokasi tersebut beragam. Ditemukan warga saat menggali tanah di kedalaman 1 meter.

Suwarno, salah seorang pengelola objek wisata alam Watu Lawang saat ditemui Selasa (2/7/2024) menceritakan bahwa lokasi ini memang dulunya adalah semak belukar. Karena kebetulan ditemukan adanya bebatuan besar, ia bersama kelompok sadar wisata di desanya mecoba membersihkannya.

Dan pada tahun 2016, lokasi wisata tersebut resmi dikelola dan dibuka untuk umum. Namun akibat pandemi, lokasi tersebut sempat terbengkalai hingga sekarang.

“Yang kita temukan ini, memang belum pernah diteliti dan kami cek kebenarannya secara ilmiah. Hanya saja kami mengira, batuan disini mungkin saja bekas letusan gunung merapi. Tapi kalau dilihat dari ukurannya, kok besar sekali,” ungkapnya

Bentuk fisik dari watu lawang sendiri adalah kumpulan batu-batu yang sangat besar dan berwarna hitam pekat di pinggiran kali. Di komplek tersebut, juga ada mbelik (red : sumber air alami dari tanah) dan punden Mbah Ngapi.

“Mbah Ngapi sendiri dipercaya warga sekitar sebagai salah satu cikal bakal desa Tanjung. Kami bersama petani saat panen tiba selalu menggelar manganan (red : Selamatan) sebagai kearifan lokal warga sekitar,” imbuhnya

Diceritakan bahwa Mbah Ngapi, memanfaatkan tempat ini (Watu Lawang) untuk bersemedi dan beristirahat di Watu Bluko yang jaraknya sekitar 2 KM dari lokasi tersebut. Bahkan saat melihat langsung di Watu Bluko, luasan bebatuan yang ditemukan lebih luas lagi dari Watu Lawang.

Diperkirakan batuan yang berada di kedua lokasi tersebut, adalah jenis yang sama yakni batuan beku basalt. Dengan ciri-ciri yang hampir sama, yakni berwarna hitam dan padat keras. Ciri ini hampir sama dengan batuan yang berasal dari letusan gunung merapi.

Jika melihat dari sekitaran area Muria, terakhir kali gunung Muria meletus antara tahun 300 Masehi – 160 Sebelum Masehi. Seperti sejarahnya, status gunung Muria pun masih sering diperdebatkan para ahli. Meskipun tidak tergolong sebagai gunung api aktif, namun banyak ahli yang tidak berani menyebutnya gunung api mati (extict).

Karenanya banyak ahli memilih menganggapnya sebagai gunung api ‘tidur’ (dormant). Prihadi et al (2005), Geologi ITB dan tim dari BATAN dalam “Volcanic Hazard Analysis for Proposed Nuclear Power Plant Siting in Central Java, Indonesia” menyimpulkan bahwa Gunung Muria sebagai non-capable volcano for magmatic eruption in the near future.

Suwarno dan warga sekitar berharap, pihak-pihak terkait bisa melakukan penelitian dan kajian di lokasi tersebut. Agar apa yang dikelola selama ini bisa didapati titik terang dan informasi yang ilmiah. (MIKJPR-01)

Reporter : Olx/Rdtr
Editor : Haniev

Tinggalkan Balasan