Home Berita Jepara Hari Ini Berkaca pada Gagalnya Pelabuhan Kendal: Studi Kritis Tentang Rencana Pembangunan Pelabuhan Jepara

Berkaca pada Gagalnya Pelabuhan Kendal: Studi Kritis Tentang Rencana Pembangunan Pelabuhan Jepara

0

MIKJEPARA.com, JEPARA – Wacana pembangunan Pelabuhan Jepara kembali menggema di tahun 2025, seiring langkah Bupati Jepara, Witiarso Utomo, yang membuka kembali diskusi publik tentang urgensi pelabuhan ini. Gema ini seolah menjawab wacana lama tahun 2015 soal Kalingga Industrial Zone, sebuah kawasan industri yang kala itu diimpikan menjadi penggerak ekonomi Jepara dan sekitarnya.

Kembali hangatnya topik pelabuhan ini bukan sekadar angin lalu. Ada potensi ekonomi yang selama ini terpendam di garis pantai Jepara sepanjang 85 kilometer, yang belum sepenuhnya diberdayakan dalam rantai logistik nasional dan global. Pelabuhan bukan hanya terminal kapal, melainkan jantung peredaran barang, lapangan kerja, dan konektivitas antarwilayah.

Namun, geliat pembangunan pelabuhan tidak bisa dilepaskan dari pembelajaran masa lalu. Salah satu pelajaran terpenting datang dari Pelabuhan Kendal yang hingga kini berhenti operasional pelayarannya. Padahal, pelabuhan ini dibangun dengan investasi lebih dari Rp567 miliar dan diresmikan tahun 2016, tetapi kini nyaris tak berdenyut aktivitas pelayarannya.

Gagalnya Pelabuhan Kendal bukan karena tak ada industri penopang. Kendal punya Kawasan Industri Kendal (KIK) yang cukup berkembang. Tapi pelabuhan ini terlalu kecil, terlalu dangkal, dan terlalu lemah dalam mendesain integrasi dengan sistem transportasi nasional. Dermaganya hanya sepanjang 218 meter, dengan kedalaman yang tak bisa lagi dilayari kapal besar sejak 2024 karena pendangkalan.

KMP Kalibodri milik PT ASDP Indonesia Ferry yang dulu sempat melayani rute penyeberangan, kini tak bisa merapat. Ini menandakan bahwa kalkulasi teknis dan lingkungan sejak awal memang belum matang. Padahal, pelabuhan yang tidak layak untuk pelayaran antar pulau akan kehilangan makna sebagai simpul logistik maritim.

Maka Jepara harus berhati-hati. Jangan sampai mengulang kegagalan Kendal. Potensi pelabuhan Jepara sangat besar, tapi jika tidak didesain secara integratif antara kedalaman laut, kualitas dermaga, dan konektivitas jalan nasional, maka ia hanya akan menjadi monumen beton di pesisir utara Jawa.

Salah satu kelemahan utama Jepara saat ini adalah belum adanya dukungan jalan nasional yang layak. Padahal, tanpa akses darat yang cepat dan efisien, pelabuhan akan menjadi simpul buntu dalam jaringan logistik. Investasi pelabuhan harus selalu beriringan dengan pembangunan infrastruktur darat.

Namun, Jepara punya kekuatan yang tidak dimiliki Kendal. Sepanjang pesisirnya, tersebar sentra-sentra industri kecil, perikanan, dan pariwisata bahari. Apabila pelabuhan Jepara dikembangkan dengan pendekatan ekonomi rakyat dan green port, ia bisa menjadi model pelabuhan masa depan yang berpihak pada bumi dan masyarakat.

Dalam konteks peringatan Hari Bumi 22 April, pembangunan pelabuhan Jepara juga harus menjadi refleksi ekologis. Pantai Jepara adalah rumah bagi terumbu karang, ekosistem mangrove, dan nelayan tradisional. Pembangunan yang abai pada lingkungan akan menimbulkan resistensi sosial dan krisis ekologi.
Maka desain pelabuhan Jepara harus memprioritaskan asas keberlanjutan.

Ini artinya, sejak awal harus ada analisis dampak lingkungan yang ketat, teknologi pengendalian pencemaran, dan strategi pemberdayaan masyarakat pesisir. Pelabuhan harus menjadi katalis konservasi, bukan justru ancamannya.

Pelabuhan Jepara juga harus berani tampil beda. Jangan mengekor pada model pelabuhan industrial ala Tanjung Emas atau Kendal. Justru, Jepara bisa menjadi pelabuhan niaga rakyat berbasis digital yang mendukung UMKM ekspor, kerajinan kayu, hasil laut, dan logistik pariwisata Karimunjawa.

Kita tak perlu dermaga panjang, tetapi dermaga yang tepat guna. Kita tak butuh pelabuhan besar, tapi pelabuhan yang berfungsi dengan efisien dan inklusif. Inilah saatnya merancang pelabuhan yang adaptif terhadap karakteristik wilayah dan ekonomi setempat.

Integrasi dengan rencana besar Kalingga Industrial Zone harus dilakukan cerdas. Jangan hanya menjadikan pelabuhan sebagai pelengkap kawasan industri. Justru pelabuhan bisa menjadi pusat gravitasi pertumbuhan baru di utara Jawa Tengah bila dirancang untuk melayani industri berbasis kelautan dan energi bersih.
Untuk itu, pemerintah daerah perlu menggandeng investor strategis yang punya visi jangka panjang, bukan sekadar pembangunan fisik. Jepara harus menghindari jebakan ‘infrastruktur tanpa ekosistem bisnis’ yang kini menjerat banyak pelabuhan kecil di Indonesia.

Dukungan pusat juga penting. Pemerintah pusat melalui Kemenhub dan Bappenas perlu melihat proyek ini bukan sekadar lokalitas, tapi sebagai simpul dalam arsitektur pelabuhan alternatif Jawa bagian utara, guna mendistribusikan beban logistik dari Tanjung Emas yang kian padat.

Momentum Hari Bumi harus dijadikan tonggak untuk memulai pendekatan baru dalam pembangunan pelabuhan di Indonesia, yaitu lebih hijau, lebih partisipatif, dan lebih adil secara ekonomi. Jepara bisa jadi pelabuhan pertama di Jawa yang lahir dari semangat bumi lestari.

Pelabuhan yang baik bukan sekadar yang dalam lautnya atau luas lahannya, tetapi yang dalam dampaknya bagi masyarakat dan luas manfaatnya bagi bumi. Pelabuhan Jepara harus menjadi jawaban atas tantangan ekonomi sekaligus panggilan konservasi.
Jika Jepara mampu meramu pelabuhan sebagai simpul ekonomi hijau, maka tak hanya akan lahir sebuah pelabuhan baru, tetapi juga masa depan baru bagi kawasan utara Jawa. Pelabuhan Jepara bukan hanya proyek infrastruktur, ia bisa menjadi warisan ekologis dan ekonomi sekaligus. (latifa)

NO COMMENTS

Tinggalkan BalasanBatalkan balasan

Exit mobile version