Google search engine

MIKJEPARA.comJEPARA â€“ Budaya masyarakat Indonesia, terutama di lingkungan pedesaan, memiliki tradisi sebagai cerminan budaya dan kearifan lokal dalam menghadapi situasi normal maupun kedaruratan, seperti halnya ikhtiar untuk mengusir pagebluk (wabah/pandemi) virus Covid-19 yang sedang terjadi kini.

Tradisi itu disebut dengan Tolak Bala, dimana masyarakat setempat percaya bahwa dengan penuh keyakinan dan do’a bersama berharap pagebluk ini segera berlalu dan masyarakat diberikan keselamatan dari segala mara bahaya.

Warga Masyarakat menggelar tradisi bancakan atau syukuran yang dipercaya sebagai ikhtiar bersama menolak bala’. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Jum’at Wage di bulan Jawa Apit atau Dzulqa’dah, atau bertepatan pada tanggal 1 Juli 2021. (Dok : Foto MIK Jepara)

Pengarusutamaan Informasi untuk bersama melawan Virus Covid-19, juga menjadi sarana edukasi kepada masyarakat setempat. Dalam terminologi ini gangguan bisa datang dari makhluk kasad mata dan tidak kasad mata. Virus Covid-19, bisa dipandang sebagai bagian dari makhluk yang tak terlihat oleh kasad mata.

Beberapa jenis peristiwa tradisi yang berkembang di masyarakat, juga menjadi wahana untuk melantunkan tembang tolak bala. Melantunkan salah satu bait tembang dhandhang gula karya Sunan Kalijaga, “Ana Kidung Rumekso ing Wengi” juga sering disajikan dalam peristiwa tolak bala.

https://youtu.be/M7jl_4b2fOk

“Ana kidung rumekso ing wengi, Teguh hayu luputa ing lara luputa bilahi, kabeh jin setan datan purun, paneluhan tan ana wani niwah, panggawe ala gunaning wong luput, geni atemahan tirta, maling adoh tan ana ngarah ing mami guna duduk pan sirno. dst”

Atau di artikan sebagai berikut, (Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setanpun tidak mau mendekat. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuripun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap)

Ritual Tolak Bala, di beberapa masyarakat disebut juga Sedekah Bumi atau Ruwatan Bumi. Memberikah sedekah dan menghilangkan segala yang kotor dalam kehidupan kita, secara lahir dan batin.

Peristiwa tradisi itu, biasanya rutin dilakukan secara reguler setahun sekali – pada waktu tertentu, atau pada peristiwa-peristiwa tertentu, yang sekaligus merupakan momen untuk menyajikan seni tradisi, seperti wayang kulit, wayang golek, atau lainnya.

Peristiwa-peristiwa itu, merupakan bagian dari upaya pelestarian nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sebagai perwujudan rasa syukur kepada Tuhan, Manusia dan Alam. Atau ritual menyampaikan do’a kepada Tuhan, agar terhindar dari malapetaka.

Di era kini, peristiwa itu biasanya diselenggarakan atas inisiatif dan swadaya masyarakat. Beberapa pemerintah daerah mengaitkannya dengan agenda wisata, tetapi banyak juga pemerintah daerah justru kurang ambil peduli. Di masa pembatasan sosial berskala besar melawan Covid-19 tentu menghadapi kendala, karena terkait dengan cara memutus mata rantai virus dalam bentuk menjaga jarak fisik dan jarak sosial.

Dari tradisi budaya dan kearifan lokal, kita dapat mengenali, bahwa masyarakat Indonesia, hidup di tengah berbagai simbol dan ekspresi yang juga merupakan sebagai wujud spiritual. Terutama berkaitan dengan menjaga harmoni relasi manusia dengan Tuhan YME, sesama manusia, dan alam. Ini merupakan ekspresi masyarakat agraris dan laut.

Hadirnya tumpeng sendiri merupakan simbol ‘metu dan mempeng,’ mengerucut ke atas, kepada Allah yang Maha Esa. Lauk pauk terdiri dari tujuh (pitu) macam, sebagai idiom dari pitulungan, sekaligus silih asih, silih asuh, silih asah. Di Jawa, terkolerasi dengan konsep kehidupan manusia, tri tangtu di buwana (prabu, rama dan resi) semacam ‘trias politica’ dalam kehidupan sehari-hari, yang sekaligus menggambarkan triangle of life.

Tumpeng juga menggambarkan bilangan hari dalam sepekan yang terkait dengan dimensi waktu (Al-asri), dan mesti ada kacang panjang sebagai simbol silaturahmi tak terputus. Tumpeng dan lauk pauknya dimakan bersama sebagai manifestasi dari soliditas dan solidaritas sosial.

Setiap desa tidak selalu sama cara mengelola ritualnya, karena mempunyai tradisi berbeda satu dengan lainnya. Namun, meskipun berbeda secara ritual, tetapi tujuannya sama sebagai perwujudan hubungan intens manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam. Dalam terminologi Islam disebut Hablumminallah, Hablumminannas, dan Hablum Minal Alam yang tercermin dalam sajian tumpeng.

Di Jepara sendiri, beberapa desa telah menggelar ritual tolak bala dengan mengadakan syukuran tumpeng atau makan bersama disepanjang jalan desa atau Masjid dan Mushola. *disadur juga dari beberapa sumber. (MIKJPR-01)

Reporter : Han/Put
Editor : Haniev

Tinggalkan Balasan